Raja
Buleleng dan Karangsem nampaknya telah sepakat secara bersama-sama
untuk menghadapi Belanda yang setiap saat telah berusaha untuk
merongrong dan mengurangi kekuasaan raja-raja Bali dengan mengikatnya
melalui perjanjian-perjanjian. Atas persetujuan dan perintah Gubernur
Generaal Rachusen, maka disiapkanlah sebuah ekspedisi penyerangan
terhadap kerajaan Buleleng. Sebagai realisasinya, maka pada tahun 1846
sebuah ekspedisi bertolak dari Besuki menuju buleleng di bawah pimpinan
Schout E.B van den Bosch yang didampingi oleh seorang pelaut J. Entlie,
A. J de Sintvan den Broeek, serta pimpinan angkatan darat di bawah
Letnan Kolonel J . Bakker
Jalannya Perlawanan Pada tanggal 23 Mei 1846, kapal "Bromo" telah mendarat di pelabuhan Buleleng. Salah seorang dari kapal itu mengutus seorang Cina yang pada waktu itu ia menjabat sebagai Syahbandar untuk menghadap raja Buleleng, dengan tugas menyampaikan perintah agar mau menerima perintah Belanda. Raja Buleleng beserta patihnya menolak, dan menyatakan tetap pada prinsipnya yang semula. Patih Gusti Ketut Jelantik mulai mempersiapkan laskarnya untuk setiap saat menghadapi serangan dari ekspedisi Belanda.
Pada tanggal 26 Mei 1846, raja Buleleng mengutus subandar Buleleng untuk menghadap kepada pemerintah Belanda yang berada di kapal "Bromo", dengan membawa surat raja Buleleng yang isinya meminta penangguhan waktu sepuluh hari karena raja Buleleng akan mengadakan perundingan dengan raja Klungkung, saudaranya dari kerajaan Karangasem.
Dalam upaya untuk memperoleh waktu yang cukup banyak untuk menyusun kekuatan kembali, maka raja Buleleng bersedia menandatangani perjanjian yang disodorkan oleh pemerintah Belanda sebagai tanda kekalahan di pihak Buleleng. Perjanjian itu ditandatangani pada tangal 9 Juli 1846, baik oleh pihak raja Buleleng maupun dari pihak pemerintah Belanda sendiri.
Jalannya Perlawanan Pada tanggal 23 Mei 1846, kapal "Bromo" telah mendarat di pelabuhan Buleleng. Salah seorang dari kapal itu mengutus seorang Cina yang pada waktu itu ia menjabat sebagai Syahbandar untuk menghadap raja Buleleng, dengan tugas menyampaikan perintah agar mau menerima perintah Belanda. Raja Buleleng beserta patihnya menolak, dan menyatakan tetap pada prinsipnya yang semula. Patih Gusti Ketut Jelantik mulai mempersiapkan laskarnya untuk setiap saat menghadapi serangan dari ekspedisi Belanda.
Pada tanggal 26 Mei 1846, raja Buleleng mengutus subandar Buleleng untuk menghadap kepada pemerintah Belanda yang berada di kapal "Bromo", dengan membawa surat raja Buleleng yang isinya meminta penangguhan waktu sepuluh hari karena raja Buleleng akan mengadakan perundingan dengan raja Klungkung, saudaranya dari kerajaan Karangasem.
Dalam upaya untuk memperoleh waktu yang cukup banyak untuk menyusun kekuatan kembali, maka raja Buleleng bersedia menandatangani perjanjian yang disodorkan oleh pemerintah Belanda sebagai tanda kekalahan di pihak Buleleng. Perjanjian itu ditandatangani pada tangal 9 Juli 1846, baik oleh pihak raja Buleleng maupun dari pihak pemerintah Belanda sendiri.
No comments:
Post a Comment